Opini | UU No. 23 Tahun 1992 : Berjalan dalam Kekaburan (Bagian I)

Persoalan anggaran yang membelit, swastanisasi yang menguat menjadikan perekonomian Indonesia menjadi terpuruk. Berangkat dari persoalan hutang, sektor swasta sejak triwulan ketiga mengalami ambruk keuntungan. Mengatasi persoalan buruk tersebut pemerintah lewat BI dan dikeluarkan dalam bentuk anggaran, pemerintah harus membayar liquiditas atas apa yang terjadi pada swasta. Sebagai penopang PDB swsta terus meningkatkannya. Namun hal lain, GDP terus turjun pada tangga bawah.

Peningkatan pendapatan Negara seharusnya menjadikan kesehatan nasional terlaksana sebagaimana UU No. 23 tahun 1992 tentang sehat. UU tersebut menekankan bagaiman individu sehat secara social dan ekonomis. Secara sosial masyarakat mampu berinteraksi positif, dan secara ekonomis masyarakat tercukupi sandang, pangan, dan papannya. Namun, bukan hanya sehat secara sosial dan ekonomis yang menjadi penekanan. Terbebas dari penyakit tetap menjadi faktor utama, tanpa melupakan kondisi sosial dan ekonomis.

Individu sebagai kumpulan yang membentuk masyarakat. Pandangan interaksi sosial yang positif adalah tidak terjadinya dominasi individu kepada individu yang lain. Hal itu berlaku juga pada lingkungan ekonomi, bahwa ketika terjadi dominasi individu terhadap ekonomi yang menyangkut hajat hidup orang banyak, maka bias dipastikan akan bias dalam tata sosial dan ekonomi.

Dalam kerangka APBN, sudah menjadi keharusan bagi pemerintah untuk mengalokasikan anggaran kesehatan secara memadai sesuai keprluan preventif-kuratif. Alokasi anggaran untuk keperluan preventif dan kuratif, guna mengontrol penyakit yang bersumber dari lingkungan alami secara langsung maupun dari aktivitas pertambangan dan perindustrian.

Jumlah penyakit menular belum turun secara signifikan (Baca Renstra Kemenkes 2015 – 2019), sedangkan jumlah penyakit yang bersumber dari aktivitas pertambangan dan perindustrian diperkiran akan bertambah seiring dengan continuitas hasil limbah industry. namun, terjadi kekeliruan dalam penanganan penyakit. Pemerintah ‘menunggu’ timbulnya penyakit baru, lalu mengeluarkan kebijakan. Sementara bias tata sosial ekonomi dalam UU No. 23 tahun 1992, akibat individu yang ingin meningkatkan derajat sosial dan ekonomisnya dengan cara menguasa sumber daya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak tanpa memikirkan kesehatan orang lain dalam jangka panjang.

jumlah industry dan pertambang di Indonesia cukup banyak, dan berpotensi untuk menghasilkan pencemaran lingkungan. Secara tekhnis, semestinya dilaksanakan pengamatan dalam Simpul satu. Pengamatan simpul satu yang dimaksud adalah berpikir tentang penyakit apa yang bias dihasilkan oleh sumber tersebut, dan memungkinkan untuk melaksanakan tindakan preventif secara dini.

Menjadi keharusan bahwa sumber daya alam yang menyangkut hajat hidup orang banyak, ketika dimonopoli oleh individu yang ingin mengamankan derajat sosial dan ekonominya lantas menyebabkan problem penyakit, sosial, dan ekonomi pada masyarakat. Maka SDA yang dikuasainya tersebut harus dikembalikan kepada Negara.

Regulasi yang dibuat oleh Negara, mesti menetapkan standarisasi tentang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Indonesia yang berparadigma kapitalistik neoliberal, mengaminkan tindakan para pemilik modal untuk menguasai SDA yang dapat mengakomodir seluruh kebutuhan masyarakat. Selanjutnya paradigm sosial bukan hanya berinteraksi antara satu individu dengan individu yang lain. Namun, paradigm sosial yang harus dibangun adalah terciptanya rasa aman dan nyaman bagi sesama.

Sementara produktifitas sosial dalam hal ini rasa aman dan nyaman masih sangat langkah di Indonesia. Lihat saja, persentase tingkat kriminalitas yang terjadi meningkat dari tahun ke tahun, tahun 2014 tindak kriminalitas sebesar 58% dan di prediksi meningkat di tahun 2015. Dari berbagai alasan, persoalan ekonomi yang melatar belakangi lahirnya tindak kejahatan tersebut.

Inilah yang kami maksudkan bahwa antara satu system dan system yang lain saling berhubungan. Ketika penguasaan SDA terjadi dominasi oleh pemilik modal, Negara menjadi tidak berkutik untuk menetapkan kebutuhan primer dan upah yang sesuai bagi masyarakat. Akibat tindak kriminalitas dengan alasan ekonomi akan terus terjadi.

Pemerintah tidak hanya harus memahami UU No. 23 tahun 1992. Tetapi persoalan mendasar Indonesia, seluruh standarisasi kehidupan dikembalikan pada paradigm kapitalistik neoliberal. Akibatnya langkah yang diambil pemerintah dalam menetapkan kebijakan selalu mengarah kepada pemilik modal, dan regulasi internasional yang sengaja dibuat untuk menenggelamkan Indonesia pada pengerukan SDA-nya oleh swasta.

Bila tidak ada pembahruan standarisasi maka system kesehatan Indonesia tetap menjadi penghubung bagi pebisnis untuk menjadikan kesehatan sebagai ladang. Maka, secara frontal diperlukan adanya opini dan kampanye anti kapitalisme neoliberal, dan memberikan solusi jelas pada masyarakat atas persoalan Indonesia yang sesunguhnya. []

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Opini | Corak dan Arah Gerakan Mahasiswa

Opini | Heterogen,Ghazwul Fikri serta Pemanfaatan Kebhinekaan dan Hak Asasi

Opini | Setelah 411, Perbedaan pendapat, dan Petunjuk Allah SWT