Cerpen | Warisan Kata Diponegoro


Lelah menarikan pena, setelah beberapa hari kasusnya tak kunjung usai. Hanya melihat pusaran sisa kopi di meja tulis. Menunggu apa drama selanjutnya. Terkadang akupun berfikir. Siapa sebenarnya yang dapat menjalankan konstitusi. Hanya dibenak. Mengambil rebahan sebentar saja, sebelum nanti melanjutkan kata demi kata lukisan aksara. Kiranya ada yang ingin membaca walau hanya sebuah blog tua, yang spasi terbitnya mungkin bulanan atau tahun. Tapi setidaknya sebagai warga negara yang cinta bangsanya apalah kata jika hanya mencaci. Kita inginkan kritik dengan dasar solutif. Kalau proklamtor tidak bisa mengkritik yang ingin dilinggis dan disetrika mungkin masih was-was dikatakan sebagai bangsa yang merdeka.

Dibubuh dengan pesan menggugah “Perjuanganku sangat mudah karena hanya melwan penjajah, tetapi perjuanganmu akan susah karena melawan bangsamu sendiri”. Ini beberapa kata-kata yang aku simpan sementara semoga ada ilham  sastra dan kata dalam melajukan bait aksara. Rehat mengambil nafas, namun puncak kelelahan tak bisa menawar mata. Setelah menumpu begitu banyak waktu dan menghargainya dengan menelaah buku. Berhenti aku pada rajutan cerita macan nusantara, pelibas kompeni belanda. Bendara Pangeran Harya Dipanegara.

Dalam diam mendengar cerita alam akal. “Kita membutuhkan seperti dirinya di negeri ini. Lebih baik seperti dirinya, agar tak adalagi monopoli borjuasi dengan kolonisasi yang terbungkus dalam sebuah modernisasi. Berapa lama lagi jeritan hati rakyat yang peduli untuk mereka dalam lakon kampanye yang sebenarnya pura-pura memberi hati”. Sepertinya mata tak bisa berkompromi lagi. Aku rebahkan badan dikasur tua, dua jengkal samping meja orkestra tulisan. Perlahan mulai menutup sepasang anugerah lensa dari Allah. Sembari memiringkan badan ke arah kanan dengan maksud mengikut sunnah.

Mulailah mata terpejam, dimulai dengan doa-doa ruqyah. Sampai akan tiba dialam setengah ruh melayang. Berharap bertemu sang Nabiullah perkasa sallallahu alaihi wassalam. Kiranya mngkin diri ini masih terbesit kegelapan dan kemunafikan. Sambil menunggu pulas. “Apalah daya manusia seperti saya, jangankan bermimpi bertemu nabi. Waliullah saja mungkin enggan melihat paras ini”. Nikmat Tuhan-mu manakah yang kamu dustakan. Masih bisa pulas, sambil menunggu esok hari boleh jadi selesailah semua naskah untuk sedikit ikat melapas lapar dan dahaga.

Mulailah lelap sangat dalam. “50.000 Gulden sudah cukup menghargai orang itu”. “Ini tanah orang-orang lemah”. “Kita tahu, walaupun banyak raja, tetapi tak berani jika kita sodorkan dana gold atau silver untuknya. “Walau masih ada juga raja yang adil tak ingin disuap”. “Ini yang harus kita singkirkan, termasuk Diponegoro itu”. Samar-samar kulihat, rambutnya agak kuning kecoklatan. Kumis tebal, sepertinya pernah kulihat orang itu. Tapi entahlah, saya hanya mersasa aneh dengan sekeliling.

Sekitar tampak cukup asri, masih kupandang rambut kuning kecoklatan. Dahaga tak terasa, lapar pun juga. Sampai menikmati perjalanan terdengar gelegar pekikan “AllahuAkbar”. Padepokan sederhana cukup besar menampung banyak santri. Indah dalam pandangan masih ada yang seperti ini. Ingin rasa turut ambil bagian duduk mendengar siraman penguat iman.ū “Assalamu alaikum, boleh kiranya saya ikut menduddukan badan disini”. Tak satupun ada jawaban. Mencoba berjalan mengitari padepokan, tak satupun santri menoleh melihat gerakku. Entahlah apa yang sedang terjadi.

Sayup angin membawaku menuju luar padepokan. Sampai malam tiba angin menambah kecepatan. Menggiring aku menuju kerumunan ribuan serdadu. Bercampur mereka, kulit dan sawo matang jadi satu dalam kumpulan serdadu itu. Dalam hati bertanya lagi, apakah ini sebuah persatuan. Tangan ku arahkan ke kelopak mata, menggosok kiri dan kanan, dari kejauhan tampak agak samar. Sepertiny saya mengenali  orang yang ada ditengah pasukan itu. Ternyata, itu sipirang kumis tebal yang kemarin saya lihat. Memori mulai membaca. Memberikan gambaran. Apa.... bukan kah itu Jendral De Vock Los. Ini bukan persatuan, melainkan pemaksaan bersektu, atau mungkin mereka yang bergabung hanya ingin mendapatkan keuntungan perut. Sekarang bukan saatnya untuk banyak bertanya. Tak ada juga yang akan menjawab tanyaku kecuali Allah subhanahu wata’ala. Lagi pula kondisinya sama saat di Padepokan. Saat ini yang bisa aku lakukan hanya mengamati melihat yang sedang terjadi. Ku simpan dalam-dalam tanyaku. Dimana diri ini sekarang. Biar nanti ada celah waktu yang bisa aku cari tahu kondisi ini.

Sambil menyimpan banyak pertanyaan. Saya berlari menuju padepokan. Melihat Jendral De Vocks Los, seketika mengingatkan ku pada orang yang mahsyur keberaniannya dan taat orangnya pada Allah Subhanahu wata’ala. Pangeran Diponegoro. Bagaiman bisa aku belum melihat Kiyai Pangeran Diponegoro. Aku pacu seribu langkah. Berlari mencari dimana padepokan tadi. Tidak ada perasaan lelah dalam berlari. Tetapi bulum juga aku temukan tempat itu. Dimana, dimana padepokan Kiyai Pangeran Diponegoro.

Aku rebahkan saja diri dan bertasbih, sambil mengingat kembali jalan menuju tempat itu. Tiba-tiba sayup angin datang menghampiri lagi. Merasa dingin dengan hempasannya. Ku bangkitkan raga menoleh kebelakang. “Ini padepokannya, kenapa bisa”. Aku tak berpikir ini karena angin. “Alhamdulillah, terimakasih ya Allah”. Dalam padepokan para santri membentuk halaqah besar. Aku mendengar appa yang ia sampaikan. “Dengan sistem benteng yang dilaksanakan oleh belanda, pasukan Kiyai Diponegoro semakin terjepit”.

“Kiyai Diponegoro juga menyampaikan bahwa Kiyai Maja akan memimpin jihad ini”. “Seperti yang dikatakan Kiyai Diponegoro, jihad ini adalah perang sabil, perang melawan kaum kufar”. Hanya termangung melihat para santri. Jika Kiyai Maja akan memimpin jihad, maka artinya ?. Hanya menjadi sebuah pertanyaan di benakku. Semoga tidak terjadi apa-apa dgan Kiyai Diponegoro. Aku mengkwatirkan Kiyai Diponegoro, sama seperti mengkhawatirkan keadaan ku saat ini. Bagaimana tidak, ini soal harkat martabat bangsa. Kita bukan orang lemah. Bukan pula penghianat negeri.

Melanjutkan kembali kisah perang sabili jihad suci lillahi. Ditangkapnya Kiyai Maja, Pangeran Mangkubumi dan Sentot Alibasya. Membawa penglihatanku melihat pernyerahan diri Kiyai Pangeran Diponegoro oleh Kompeni De Voks Los. Tetapi tidak sekedar menyerahkan diri. Ada jiwa berani yang tidak bisa ditawar sekalipun sanggat tinggi. Ucapan menggugah “Lepaskan laskarku”. Sudah menjadi satu asasi perjuangan lillahi. Pemimpin pelayan umatnya. Itu yang kupandang dari Kiyai Diponegoro.

Baru kembli aku menyadari, apa sebenarnya yang terjadi. Sesaat kemudian  mencul dihadapan ku, kira-kira hanya berjarak tiga jengkal. Dengan pundak bergetar, dengan seksama kudengar. “Hidup dan mati ada dalam genggaman ilahi. Takdir adalah kepastian, tapi hidup harus tetap berjalan. Proses kehidupan adalah hakikat, sementara hasil akhir hanyalah syariat. Gusti Allah akan menilai ketulusan perjuangan manusia, bukan hasil akhirnya. Kalaupun harus menjumpai kematian, itu artinya mati syahid dijalan tuhan”.

Dengan suara menggelegar sungguh merdu terdengar pesan berwaris dari kiyai diponegoro. Ruangan terasa sangat panas, membangunkanku untuk menengok sisa kopiku, yang ada sisa ampas dan bercaknya dimeja. Ada keheranan yang terbuka dalam pikiran. Mengapa orang sepertiku dapat mimpi yang sebegitu indahnya. Sampai masih terasab dalam kalbu. Mungkin ini pertanda sebuah rezeki. Aku bergerak menuju tampungan kehidupan. Bukan hanya melangkah untuk membasuh wajah. Mungkin ini kenikmatan seperdua malam bagiku, untuk bersujud padanya.


Setelah kusujudkan diri pada ilahi. Ku hadapi lagi, kertas yang berisikan tiga paragraf tulisan. Dari mimpi itu aku hanya ingin menyarakan. Tak kutemukan sekarang pemimpin yang segarang kiyak diponegoro. Pemimpin yang tak rela sejengkalpun tanahnya dirampas. Pemimpin yang megorbankan hayat untuk rakyat. Sekarang yang aku pandang pemimpin yang garang kepada rakyat. Sekarang kupandang pemimpin yang santun manis wajahnya pada asing maupun aseng.Tapi fikir masih percaya akan datang masa. Diponegoro muda akan bermunculan, ada aksi yang sama dan pantang menjual bangsa. Aku masih mengingat monas jadi saksi akan itu muncul kembali. [HYP]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Opini | Corak dan Arah Gerakan Mahasiswa

Opini | Heterogen,Ghazwul Fikri serta Pemanfaatan Kebhinekaan dan Hak Asasi

Opini | Trump : Melanjutkan Hegemoni Basi