Opini | Heterogen,Ghazwul Fikri serta Pemanfaatan Kebhinekaan dan Hak Asasi
Keheterogenan adalah suatu
kewajaran dan suatu ketetapan. ketetapan atas hal tersebut bukan berarti diam.
bergerak menyampaikan dalam aktualisasi dakwah juga bukan dengan cara yang
tidak dibenarkan syara'. seperti halnya merubah keadaan diri dalam hal ini yang
dapat dijangkau dan sesuai dengan tuntunan syara'.
Kewajaran dalam menanggapi
keheterogenan bukan dengan melepaskan tolak ukur. tolak ukur sebagia
standarisasi dalam pemberian nilai atas perbuatan, jika dikembalikan pada
pandangan heterogen tentu setiap agama, suku, dan ras akan memiliki pandangan
yang berbeda dalam menyajikan sudut pandangnya.
Dalam perspektif pemerintah, sebagai
warga negara tentu barang wajib mengikuti standarisasi hukum yang telah menjadi
keputusan yang telah dianggap final. tetapi sebagi seorang Abdullah juga ada
perintah yang maha wajib yang finalnya mencakup dunia wal akhirat. karena
disamping sebagai warga negara kita juga sebagai abdullah.
Pandangan liberalis dengan
ungkapan mayoritas abdullah di negeri ini tidak berhalu dari pada konstitusi.
seolah ada penggambaran pengkambing hitaman pada kepercayaan mayoritas
abdullah. disini kita mengamati bahwa keholistikan kepercayaan mayoritas
abdullah mampu menyingkiran standarisasi yang bersifat spekulasi yang hadirnya
boleh jadi diri dikte korporasi dengan maksud misionarisasi.
Untuk mengakhiri kesempuraan
ajaran dan melabeli istilah radikalisasi. hak asasi dan ajaran konstitusi
dijadikan sebagai alat untuk mencapai dua poin tersebut. respon atas
pemberhentian acara keagamaan juga melabeli muslim anti-kebinekaan dan tidak
menghormati hak asasi. tetapi, ketika fakta bahwa muslim sebagai korban maka
pelabelan pelaku bukan pada anti kebinekaan dan hak asasi melainkan keluar kata
hanya terjadi kesalah pahaman. lantas apa fungsi dari pada standarisasi
konstitusi sebagai value dalam bernegara ?
Teringat dengan ayat yang intinya
menyatakan "mereka tidak akan ridho sampai kalian masuk pada agama
mereka". mengaitkan dengan pembubaran suatu acara keagaman, boleh jadi ada
pendangkalan akidah umat sehingga direspon dengan cara pembubaran. ayat lain
juga mengingatkan "bagimu agamamu dan bagiku agamaku", sudah silahkan
saja umat bergama lain melaksanakan pokok ajaran dan ibadahnya. tetapi kembali
ke-poin awal dengan tidak bermaksu mengadakan pendangkalan akidah umat.
Mengetahui bahwa aksi pembubaran
tidak lebih banyak dibandingkan pembiaran ibadah umat beragama lain. namun
poros kajiannya, pumbubaran yang jumlah kasusnya sangat sedikit ini memang
awalnya selalu diawali dengan pendangkalan akidah, jika tidak ada unsur itu
maka silahkan saja.
Kehidupan beragama juga tidak
bisa dilepaskan dari faktor ghazwul fikri. namun yang sangat disayangkan adalah
memanfaatkan konstitusi, istilah anti-kebinekaan dan pelanggran hak asasi untuk
mendapat tujuan mereka. ini memberikan penilain ketidak sempurnaan ajaran
mereka, memakai konstitusi untuk menghancurkan keholistikan ajaran islam.
Memanfaatkan 3 hal tersebut,
seolah mereka menyatakan "demi kerukunan hidup beragama, umat islam mulai
sekarang dilarang menyatakan pokok keyakinan dan agamanya". akhir tulisan
saya mengutip pernyataan Babe Ridwan Saidi, "Ciri-ciri pemimpin yang
bahlul adalah apabila mereka mengeluarkan keputusan niscayalah keputusan itu
tidak boleh dikoreksi, dan selain itu mereka menggunakan cara-cara yang tidak
ilmiah untuk membela keputusannya, sementara keputusannya itu sendiri memang
sudah tidak ilmiah. []
Komentar
Posting Komentar